Kota Malang - Sebagai mahasiswa Agribisnis Peternakan, saya sering membayangkan masa depan cerah sektor ini di Indonesia. Namun, belakangan, bayangan itu sedikit terusik oleh kebijakan perdagangan internasional, khususnya yang datang dari Amerika Serikat.
Kabar mengenai tarif ekspor sebesar 19% yang dikenakan oleh AS, serta kewajiban Indonesia untuk membeli produk pertanian dari Negeri Paman Sam ini senilai 4,5 miliar dolar AS, adalah pukulan telak yang patut kita cermati bersama.
Kebijakan tarif 19% jelas akan memukul daya saing produk peternakan Indonesia di pasar internasional. Bayangkan, jika kita punya surplus produk unggulan seperti ayam atau telur, harganya akan melonjak tinggi karena tarif ini.
Akibatnya, ekspor kita bisa macet dan produk-produk tersebut menumpuk di dalam negeri. Jika ini terjadi, harga pada tingkat peternak bisa jatuh bebas, mengancam kesejahteraan mereka.
Kita yang belajar tentang efisiensi produksi dan rantai pasok jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa semua itu berkelanjutan jika hambatan eksternal sebesar ini menghadang?
Tidak hanya itu, kesepakatan untuk membeli produk pertanian AS senilai 4,5 miliar dolar dari AS juga menjadi perhatian serius. Meskipun detail produknya belum sepenuhnya jelas, kekhawatiran utama adalah masuknya produk-produk tersebut akan membanjiri pasar domestik. Jika produk impor ini lebih murah dan lebih mudah diakses, peternak lokal kita bisa semakin tertekan.
Pertanyaan besar adalah bagaimana dengan kedaulatan pangan nasional? Jika kita terus bergantung pada impor, bagaimana kita bisa memastikan ketahanan pangan di masa depan? Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga masalah strategis bangsa.
Kami belajar tentang pentingnya swasembada, namun realitas kebijakan ini seolah menyeret kita menjauh dari cita-cita tersebut.
Bagi kami, para calon pelaku dan penggerak agribisnis, kondisi ini adalah tantangan sekaligus cambuk.
Kita harus lebih cerdik dalam menganalisis pasar, mencari inovasi, dan mungkin mengembangkan pasar-pasar alternatif di luar jangkauan kebijakan.
Penting bagi pemerintah untuk meninjau ulang kesepakatan semacam ini, atau setidaknya mencari strategi mitigasi yang efektif agar dampak negatifnya bisa diminimalisir.
Sebagai generasi penerus, kami berharap pemerintah dapat lebih berpihak kepada petani dan peternak lokal. Kebijakan perdagangan haruslah berlandaskan pada prinsip saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak manapun, terutama sektor vital seperti pertanian dan peternakan.
Jika tidak, bukan tidak mungkin semangat dan minat kami untuk terjun langsung ke sektor ini akan luntur, tergantikan oleh ketidakpastian dan kerugian yang tak berujung.(*)
Suara Mahasiswa Menyongsong Dampak Tarif AS
Dhealova Cindy Winarto, Mahasiswa jurusan Agribisnis Peternakan
Politeknik Pengembangan Pertanian Malang (POLBANGTAN MALANG)
0 Comments